Minggu, 05 Oktober 2014

PEMBAHASAN PENYALURAN DANA BANK PADA MASYARAKAT DAN INVESTASI LAINNYA



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Perbankan Islam sekarang ini telah dikenal secara luas dibelahan dunia muslim dan Barat. Perbankan Islam merupakan bentuk perbankan dan pembiayaan dan berusaha memberi pelayaan kepada nasabah dengan bebas bunga (interest). Para perintis Perbankan Islam beragumentasi bahwa bunga   (interest) termasuk riba, dan jelas-jelas dilarang dalam hukum Islam. Alasan tersebut mendorong beberapa sarjana muslim dan para penanam modal untuk menemukan alternatif lain cara pengembangan sistem perbankan yang sesuai dengan aturan hukum islam, khususnya yang berkaitan dengan larangan riba.

Pembangunan Nasional suatu bangsa mencakup didalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk membiayai, karena pembangunan sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan lembaga keuangan dalam pembiayaan pembangunan sangat diperlukan.  Bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary) yang tugas pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat, diharapkan dengan dana dimaksud dapat memenuhi kebutuhan dana pembiayaan yang tidak disediakan oleh dua lembaga sebelumnya.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, telah lama mendambakan kehadiran sistem lembaga keuangan yang sesuai tuntutan kebutuhan dimaksud adalah perbankan yang terbebas dari praktek bunga yaitu Perbankan Syariah. Konsep pembiayaan di Bank Syariah berbeda dengan konsep kredit berbasis bunga di perbankan Konvensional.  dalam kaitannya dengan konsep pembiayaan di Bank Syariah. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya prmbahasan ini. Dimana salah satu fungsi bank adalah sebagai lembaga perantara untuk menyalurkan dana pada masyarakat dan investasi lainnya dengan prinsip Syariah.



B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan makalah dapat diuraikan sebagai berikut :

1.     Apa-apa saja jenis penyaluran dana melalui pembiayaan yang ada di Bank Syariah?
2.     Bagaimana proses pemberian pembiayaan di Bank Syariah?

C.      Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada pembahasan makalah ini adalah penulis membatasi pembahasan tentang penyaluran dana Bank pada masyarakat dan investasi lainnya menurut beberapa literatur.

D.      Metode
Metode pengambilan isi dalam makalah ini adalah metode secara tinjauan pustaka.

E.       Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan dan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.    Untuk mengetahui apa-apa saja jenis penyaluran dana melalui pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat dan investasi lainnya di Bank Syariah.
2.    Untuk mengetahui dan memahami proses pemberian pembiayaan di Bank   Syariah.

 
 


BAB II
PEMBAHASAN
PENYALURAN DANA BANK PADA MASYARAKAT DAN INVESTASI LAINNYA


A.      Sistem Pembiayaan Bank Syariah

Pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana merupakan salah satu tugas pokok Bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang memerlukan dana.  Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu :

1.    Pembiayaan Produktif, yaitu penbiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
2.    Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Secara Umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut :
 

B.       Pembiayaan Modal Kerja
Secara umum, yang dimaksud dengan Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.[1] Fasilitas PMK dapat diberikan kepada seluruh sektor ekonomi yang dinilai prospek, tidak bertentangan dengan syariat Islam dan tidak dilarang oleh ketentuanpeundang-undangan yang berlaku. Pemberian fasilitas pembiayaan modal kerja yang diberikan kepada debitur/ calon debitur dengan tujuan untuk mengeliminasi resiko dan mengoptimalkan keuntungan bank.

Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja bukan dengan meminjam uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana Bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib)[2].

Berdasarkan akad yang digunakan dalam produk pembiayaan syariah, jenis PMK dapat di bagi atas :
1.    PMK Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak (shahibul mal) menyediakan (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadio pengelola. Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecuragan penglola kehilangan tenaga dan kehilanagn yang telah dicurahkannya. Apabila terjadi kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggunwg jaab sepenuhnya.

Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah special invesment. Dalam akrivitas pendanaan akad mudharabah digunakan dalam tabungan akad mudharabah muthlaqah sedangkan investasi mudharabah menggunakan akad mudharabah muqthalaqah untuk investasi tidak terikat dan mudharabah muqayyadah untuk investasi terikat. Sementara itu, dalam aktivitas pembiayaan akad mudharabah muqayyadah digunakan untuk membiayai berbagai pembiayaan proyek investasi maupun modal kerja.[3]

2.    PMK Salam
                        Bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang dikemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk nmemenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai waktu panen tiba.

3.    PMK Istishna’
Produk istishna’ menyerupai produk salam, istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesaan. istishna’ merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan syariah.

Ketentuan umum pembiayaan istishna’ adalah spesifikasi barang pesanan harus jelas, macam ukuran, mutu dan jumlahnya. Harga jual yang telah disepaklati dicantumkan dalam akad istishna’ dan tidak boleh berubah selam berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.[4]

4.    PMK Murabahah
Murabahah (al-bai’ bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai murabahah saja. Murabahah adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok di tambah keuntungan (margin).
Dalam perbankan murabahah selalu dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil atau muajjil). Dalm transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sementara pembayaran dilakukan secara tangguh/cicilan.

5.    PMK Ijarah
                        Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas  barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atau barang itu sendiri.

                        Sewa atau ijarah dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan, pada mulanya bukan merupakan bentuk pembiayaan tetapi merupakan aktivitas usaha seperti jual beli. Individu yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli asset dapat mendatangi pemilik dana untuk membiayai pembelian asset produktif. Pemilik dana kemudian membeli barang dimaksud dan kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan asset tersebut.

C.      Pembiayaan Investasi
Investasi adalah penanaman dana untuk memperoleh imbalan/ manfaat/ keuntungan dikemudian hari. Mencakup hal-hal antara lain :
1.    Imbalan yang iharapkan dari investasi adalah berupa keuntungan dalam bentuk financial atau uang.
2.    Badan Usaha umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan berupa uang, sedangkan Badan Sosial dan Badan-badan pemerintahanlainnya lebih bertujuan untuk memberikan manfaat sosial (social benefit) dibandingkan dengan keuntungan financialnya.
3.    Badan-badan Usaha yang mendapat pembiayaan Investasi dari Bank harus mampu memperoleh keuntungan financial agar dapat hidup dan berkembang serta memenuhi kewajibannya kepada Bank[5].
Pembiayaan Investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru.
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengadaannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (proctec cas flaw) yang mencakap semua konponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Penyusuanan proyeksi arus kas ini harus disertai pula dengan perkiraan keadaan-keadaan pada masa yang akan datang, mengigat pembiayaan investasi memerlukan waktu yang cukup panjang. Dari perkiraan itu akan diketahui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya.
D.      Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan Konsumtif, yakni pembiayaan yang ditujukan untuk pembelian suatu barang maupun jasa yang digunakan untuk kepentingan perseorangan ( pribadi ). Pembiayaan konsumtif yang diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutahan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer dan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, seperti bangunan rumah, kendaraan, perhiasan, dan sebagainya.[6]

Dalam menetapkan akad pembiayaan konsumtif, langkah-langkah yang perlu dilakukan bank adalah sebagai berikut:
1.    Apabila kegunaan pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah untuk kebutuhan konsumtif semata, harus dilihat dari sisi apakah pembiayaan tersebut berbentuk pembelian barang atau jasa.
2.    Jika untuk pembelian barang, faktor selanjutnya yang harus dilihat adalah apakah barang tersebut berbentuk ready sctok atau good and process jika ready sctok, pembiayaan yang digunakan adalah pembiayaan murabahah. Namun,jika berbentuk good in process, yang harus dilihat adalah apakah proses barang tersebut memerlukan waktu lebih dari 6 bulan, pembiayaan yang diberikan adalah istishna’.
3.    Jika pembiayaan tersebut dimaksuskan untuk memenuhi kebutuhan nasabah dibidang jasa, pembiayaan yang diberikan adalah ijarah.[7]

E.       Proses Pembiayaan
Proses pemberiaan pembiayaan meliputi :
1.    Surat Permohonan Pembiayaan
Dalam surat permohonan berisikan jenis pembiayaan yang diminta nasabah, untuk berapa lama serta pelunasan pembaiyaan berasal dari mana. Disamping itu, surat diatas dilampiri dengan dokumen pendukung, antara lain : identitas pemohon, legalitas, bukti kepemilikan agunan.
2.    Proses Evaluasi dan Proses Penilaian.
Dalam penilaian suatu permohonan, Bank Syariah tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian serta aspek lainnya, sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil analisis yang cermat dan akurat.
3.    Format memo/nota penilaian.
Diantaranya meliputi : Informasi umum, aspek legalitas, aspek manajemen, aspek pemasaran, aspek sosial ekonomi, aspek tenaga kerja, aspek teknis, aspek keuangan[8].


 BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana merupakan salah satu tugas pokok Bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang memerlukan dana.
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu :
1.    Pembiayaan Produktif, yaitu penbiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
2.    Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua, yaiutu :
1.    Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
2.    Pembiayaan Investasi, yaitu penanaman dana untuk memperoleh imbalan/ manfaat/ keuntungan dikemudian hari, untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Proses pemberiaan pembiayaan meliputi :
1.    Surat Permohonan Pembiayaan.
2.    Proses Evaluasi dan Proses Penilaian.
3.    Format memo/nota penilaian.

B.       Saran
Demikianlah makalah ini, kami sebagai penulis sadar bahwa makalah yang disusun ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kelanjutan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta :  2007
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta : 2002
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta : Ekonisia, 2004






[1] Adiwarman A. Karim, Bank Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta :  2008, hlm 234.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta : 2001, hlm 162
[3] Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta :  2007, hlm 67                          
[4]  Adiwarman A. Karim, Ibid hlm 100
[5] Ibid, hlm 237

[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariak dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani, hlm 168
[7] Adiwarman A.Karim, Bank Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008, hlm 244
[8] Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta : Ekonisia, 2004, hlm 212

PELUANG DAN TANTANGAN BANK SYARIAH DI KANCAH EKONOMI GLOBAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
 Dunia Ekonomi Islam adalah dunia bisnis atau investasi. Hal ini bisa dicermati mulai dari tanda-tanda eksplisit untuk melakukan investasi (ajakan bisnis dalam Al-quran dan Sunnah) hingga tanda-tanda implisit untuk menciptakan sistem yang mendukung investasi, adanya sistem zakat, larangan riba untuk mendorong optimalisasi investasi serta larangan maysir dan spekulasi untuk mendorong produktifitas setiap investasi. 
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan Bank Syariah ini belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tatanan Industri Perbankan Nasional. Landasan hukum operasi Bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.  Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu.
 Perkembangan Perbankan Syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya UU No. 10 Tahun 1998. Dalam UU tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh Bank Syariah.  UU tersebut juga memberikan arahan-arahan bagi Bank-bank Konvensional untuk membuka cabang Syariah. Pertumbuhan pesat  dan perkembangan Perbankan Syariah baik di Indonesia maupun di dunia mendorong lahirnya inisiatif- inisiatif startegis, mulai dari kebijakan penerapan profesionalisme dibidang Syariah hingga penerapan prinsip-prinsip Syariah di dunia Perbankan.
 Gelombang globalisasi pada saat ini sudah tiba dan akan mengubah lanskap keuangan. Seiring dengan munculnya lanskap financial baru, kontrak pembagian risiko dan yang pada akhirnya menjadi kontrak pembagian untung rugi akan menjadi terstandarisasi dan akan menjadikan peluang bagi system finansial baru untuk berkembang. Globalisasi dan sebagai konsekuensinya, ekpansi ekuitas dan cara pendanaan berbagai risiko akan memuluskan jalan untuk pertumbuhan lebih lanjut keuangan Islam. Walaupun demikian, keuangan Islam masih memiliki beberapa tantangan.
 Dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan ini, hal ini lah yang melatar belakangi adanya pembahasan ini dimana munculnya peluang-peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh dunia perbankan khususnya Perbankan Syariah dalam ekonomi global.
B.       Rumusan Masalah
 Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut :
 1.    Bagaimana perkembangan Bank Syariah di Indonesia?
2.    Apa  peluang dan tantangan yang akan dihadapi Bank Syariah dalam kancah ekonomi global ?
3.    Bagaimana solusi dalam mengatasi tantangan yang dihadapi Perbankan Syariah  tersebut?
 C.      Batasan Masalah
 Adapun batasan masalah pada pembahasan makalah ini adalah penulis membatasi pembahasan tentang peluang dan tantangan Bank Syariah di kancah ekonomi global di Indonesia saja menurut beberapa literatur.
 D.      Metode
 Metode pengambilan isi dalam makalah ini adalah metode secara tinjauan pustaka.
 E.       Tujuan
 Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan dan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
 1.    Untuk mengetahui bagaimana perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
2.    Mengetahui peluang dan tantangan yang akan dihadapi Bank Syariah dalam kancah ekonomi global.
3.    Untuk mengetahui dan memahami solusi dalam mengatasi tantangan yang dihadapi Perbankan Syariah  tersebut.
 
BAB II
PEMBAHASAN
PELUANG DAN TANTANGAN BANK SYARIAH
DI KANCAH EKONOMI GLOBAL

A.      Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
 Di Indonesia, Bank Syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat indonesia (BMI). Dari  tahun ke tahun Perbankan Syariah di Indonesia akan terus berkembang[1]. Berdasarkan data Bank Indonesia, prospek Perbankan Syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Industri Perbankan Syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Karim Busines Consulting pada tahun 2005 menunjukkan bahwa total asset Bank Syariah di Indonesa diperkirakan akan lebih besar.
 Bank Syariah di Indonesia secara konsisten telah menunjukkan perkembangannya dari waktu ke waktu,. Pada awal tahun 2009, asset Bank Syariah terhadap total keseluruhan bank telah mencapai 2,24%, adapun dalam hal penghimpunan dana pihak ketiga mencapai 2,18%, sedangkan dalam hal pembiayaan mencapai 2,96% dari keseluruhan Bank di Indonesia (lihat tabel 1.1).


Bank Syariah
Total Bank
(triliun)
Nominal (triliun)
Pangsa
Total Asset
51,814
2,24%
2.308,0
DPK
38,195
2,18%
1.748,8
Pembiayaan
38,201
2,96%
1.298,8
Tabel 1.1 : Pangsa Perbankan Syariah terhadap total Bank (posisi Januari 2009)[2]
 Perkembangan pertumbuhan Perbankan Syariah juga telah diikuti oleh perkembangan jaringan kantor Perbankan Syariah. Pada bulan Januari 2009, jumlah BUS adalah sebanyak 5 perusahaan, sedangkan jumlah UUS sebanyak 26 unit, dan BPRS sebanyak 132 perusahaan (lihat tabel 1.2)

2005
2006
2007
Mar 08
Jun 08
Sep 08
Des 08
Jan 09
Bank Umum Syariah :
  Jumlah Bank
  Jumlah Kantor

3
304

3
349

3
401

3
402

3
405

3
497

5
581

5
585
Unit Usaha Syariah :
  Jumlah UUS
  Jumlah Kantor

19
154

20
183

26
196

28
207

28
214

28
216

27
241

26
243
Bank Pembiayaan Syariah
Jumlah BPRS
Jumlah kantor

92
92

105
105

114
185

117
188

124
195

128
199

131
202

132
204
Tabel 1.2 : jaringan kantor Perbankan Syariah di Indonesia (posisi Januari 2009)[3]

Pada saat sekarang ini, kemajuan dan perkembangan Bank Syariah secara kuantitas sangat  menggembirakan. Perkembangan ini tentunya akan semakin bertambah untuk masa-masa yang akan datang. Tentunya, perkembangan ini harus diimbangi dengan perkembangan secara kualitas. Kualitas Perbankan Syariah sangat ditentukan oleh kemampuan Bank Syariah dalam kinerja dan kelangsungan usahanya.
Perkembangan Perbankan Syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya manusia  yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya manusia yang selama ini terlibat di institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking. Tentunya kondisis ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme Perbakan Syariah itu sendiri. Ini lah yang memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni menghasilkan sumber daya manusia yang mampu mengamalkan ekonomi syariah karena sistem yang baik tidak mungkin berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya manusia yang baik pula.   
 B.       Peluang Bank Syariah
 Secara substansial, istilah Ekonomi Syariah sesungguhnya tidak sebatas masalah financing atau banking. Ekonomi Syariah sejatinya adalah seperangkat aktivitas yang terdiri dari nilai-nilai, institusi dan gabungan dari kegiatan yang berkaitan dengan, misalnya, fiskal, moneter, produksi, distribusi dan keuangan yang berlandaskan pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Jika dilihat dari pandangan Islam terhadap uang, Islam memandang uang seabagai flow concept sehingga harus sealu berputar dalam perekonomian agar akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan perokonomian pun akan semakin baik[4].
 Dengan luasnya ruang lingkup Ekonomi Syariah tersebut, maka dalam merespon realitas industri syariah yang berkembang saat ini, penting dilakukan analisis dan kajian untuk mengenali berbagai peluang dan tantangan yang harus dihadapi. Peluang dalam membangun masa depan Ekonomi Syariah di Indonesia dalam kancah ekonomi global salah satunya tidak terlepas dari dana investasi yang diberikan oleh para investor dalam pengembangan dana untuk memperlancar arus ekonomi khususnya Perbankan di Indonesia. Perlunya world Islamic expenditure fund yang dapat memberikan jalan keluar bagi para investor Timur Tengah untuk pengembangan dana dari kawasan itu ke negara-negara Islam berkembang,  Sehingga dana tersebut diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah ekonomi global. Selain itu, beberapa capaian positif atau peluang yang akan dicapai dalam perkembangan Perbankan Syariah dapat dijadikan sebagai pemicu optimisme baru sekaligus peluang emas dalam membangun masa depan Ekonomi Syariah di Indonesia[5], diantaranya :
 1.    Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
UU ini terbit tanggal 16 Juli 2008 adalah landasan hukum yang mendorong industri Perbankan Syariah Nasional untuk tumbuh lebih cepat lagi. Langkah konkrit lainnya, Bank Indonesia telah merumuskan Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yang meliputi aspek-aspek strategis. Salah satunya, penetapan visi 2010 sebagai industri Perbankan Syariah terkemuka di ASEAN.
 Beberapa implikasi yang mungkin terjadi lahirnya UU Perbankan Syariah antara lain sebagai berikut :
 a)         Jaminan kepastian hukum,
b)        Peningkatan dukungan pemerintah,
c)         Penerbitan Peraturan Pelaksanaan UU Perbankan Syariah, dan
d)        Penguatan sinergi pasar keuangan berbasis Syariah[6].
 Pentingnya mengamati implikasi dari lahirnya UU No.21 tahun 2008 ini yang memberikan peluang bagi industri keuangan syariah di Indonesia dan di kawasan ekonomi global. Dengan lahirnya UU Perbankan Syariah ini, perkembangan Perbankan Syariah kedepan akan memiliki peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Kemudian, dapat membuka peluang bagi perkembangan Perbankan Syariah lebih cepat adalah dimungkinkannya Warga Negara Asing (WNA) dan atau Badan Hukum Asing yang bergabung secara kemitraan dalam Badan Hokum Indonesia untuk mendirikan dan atau memiliki Bank Umum Syariah.
 2.      Lahirnya Undang-Undang Sukuk Negara dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).
Penerbitan SBSN bertujuan untuk memperluas basis sumber pembiayaan, mengembangkan pasar keuangan syariah dan mengoptimalkan pemanfaatan barang-barang Negara untuk dijadikan underlying asset. Sehingga, semakin mendorong tertib administrasi barang milik Negara, serta mempercepat sektor pembangunan infrastruktur. Keberadaan UU Sukuk ini penting, terutama untuk menjaring investasi asing.
 3.      Pencapaian lebih 2 persen market share.
Market share Perbankan Syariah hingga awal tahun 2009, asset Bank Syariah terhadap total keseluruhan Bank telah mencapai 2,24%, adapun dalam hal penghimpunan dana pihak ketiga mencapai 2,18%, sedangkan dalam hal pembiayaan mencapai 2,96% dari keseluruhan Bank di Indonesia (lihat tabel 1.1).
 4.      Peningkatan jumlah Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Saat ini, Indonesia menjadi Negara dengan jumlah Bank dan Lembaga Keuangan yang berlandaskan sistem syariah terbanyak di dunia (lihat tabel 1.2).
 C.      Globalisasi dan Tantangan Bank Syariah
 Globalisasi merupakan proses multidimensional dari perkembangan ketersaling- hubungan diantara berbagai bangsa dan banyak orang di dunia. Dimensi utamanya adalah cultural, sosiopolitik dan ekonomi. Dimensi ekonominya mencakup aliran perdagangan yang terus tumbuh, gerakan keuangan yang transparan, investasi produksi yang disertai dengan standarisasi proses, regulasi dan institusi semuanya difasilitasi oleh aliran bebas informasi dan ide. Globalisasi adalah hasil dari reduksi biaya informasi dan transportasi, serta liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi, aliran capital dan gerakan berbagai macam faktor[7].
Tantangan bagi Sistem Keuangan Islam

Ada beberapa tantangan dibeberapa area, yaitu : teoritis, operasional, dan implementasi. Pada sisi teori, dibutuhkan lebih banyak upaya untuk mengembangkan prinsip inti Ekonomi Islam, dan memahami fungsi system keuangan yang beroperasi atas dasar pembagian keuntungan dan kerugian. Pada sisi operasional, berbagai isu berkaitan dengan inovasi, intermediasi dan manajemen risiko patut mendapatkan perhatian.
Tantangan Bagi Perbankan Islam

Institusi keuangan Islam memiliki kinerja yang baik sepanjang periode pertumbuhan yang tinggi dalam industri, akan tetapi dengan lanskap keuangan global yang senantiasa berubah dengan cepat, upaya mempertahankan pertumbuhan yang stabil menjadi salah satu dari sekian banyak tantangn menghadang. Sejauh ini, Bank Islam di modali oleh celah pasar yang tumbuh dengan pesat, tetapi, banyaknya Bank Islam yang ada dan peningkatan ketertarikan institusi konvensional untuk mengeksploitasi pasar baru tersebut, industri ini sekarang menjadi sangat kompetitif.

Institusi finansial saat ini telah mempertahankan keunggulan kompetitif di pasar yang sampai saat ini masih ditandai dengan tingginya rintangan dari institusi konvensional yang kurang memiliki pengetahuan dalam Syariah. Akan tetapi, dengan meningkatnya kesadaran dan pengakuan terhadap instrument finansial Islam, kemajuan teknologi, globalisasi dan integrasi pasar, institusi konvensional yang lebih berpengalaman dan professional, akan menciptakan persaingan yang ketat dimasa depan.

Berikut ini beberapa tantangan utama yang dihadapi institusi finansial Islam, yaitu :
1.        Implementasi pada Sistem
Tantangan paling penting adalah implementasi keuangan Islam pada skala sistem. Pada saat ini, banyak Negara Islam mengalami disekuilibirium financial yang membuat frustasi usaha pengadopsian total Perbankan Syariah. Ketidakseimbangan financial dalam fiscal, moneter, dan sector eksternal diberbagai Negara ini tidak dapat memberikan wadah yang subur bagi operasi Perbankan Islam yang efisien.
 Penyesuaian structural besar, khususnya dalam bidang fiscal dan moneter, dibutuhkan untuk memberikan area bermain bagi Perbakan Islam. Operasi Perbankan Islam pada skala sistem yang efisien pada saat ini amat dibatasi oleh distorsi dalam ekonomi, seperti :
 a.         Kurangnya kerangka pengawasan yang kuat dan regulasi yang cermat dalam sistem keuangan.
b.         Lemahnya kerangka legal dan institusional untuk definisi hak kepemilikan berbasis Syariah sekaligus hak para pihak dalam kontrak, dan lain sebagainya[8].
 2.      Intermediasi Dua Arah
Secermelang-cemerlangnya catatan pertumbuhan Bank Islam individual, faktanya adalah pada saat ini bank-bank tersebut sebagian besar berfungsi sebagai intermediasi antara sumber daya financial Muslim dan Bank komersial di Barat. Dalam konteks ini, yang ada hanyalah hubungan satu arah. Belum ada Bank Islam besar yang mengembangkan metode intermediasi antara sumber keuangan Barat dan permintaan atas sumber daya tersebut di Negara Muslim.
 Walaupun masih ada ruang yang cukup untuk kompetisi dan ekspansi dalam bidang ini, kemampuan bertahan jangka panjang Bank Islam tergantung kepada seberapa cepat, agresif, dan efektif mereka dalam mengembangkan teknik dan instrument yang memungkinkan mereka melakukan fungsi intermediasi dua arah. Mereka harus menemukan metode mengembangkan instrument berbasis Syariah yang marktable dimana portofolio asset yang dihasilkan di Negara Muslim dapat dipasarkan di barat dan juga dapat memasarkan portopolio Barat berbasis Syariah di Negara Muslim.
 3.      Manajemen Risiko
Pasar financial menjadi semakin terintegrasi dan interdependent, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan efek penularan yang cepat. Kurangnya pemahaman terhadap lingkungan baru dapat menciptakan perasaan risiko yang lebih besar bahkan jika level objektif risiko itu dalam sistem tersebut tidah berubah atau berkurang.
Intermediator financial Islam harus mengadopsi pengukuran manajemen risiko yang tepat bukan hanya demi portopolio mereka sendiri, tetapi juga untuk menghadirkan layanan manajemen risiko inovatif kepada klien mereka. Institusi financial yang dapat menawarkan jaminan, meningkatkan likuiditas, memberikan jaminan asuransi terhadap risiko, dan pada akhirnya mengembangkan instrument perlindungan dengan cuma-cuma, dapat dan harus dibentuk.
 Institusi financial Islam harus menyadari nilai penting risiko operasional berkaitan dengan kegagalan proses dan kontrol. Pada saat ini, terdapat kekurangan pada kultur manajemen risiko dan dukungan perusahaan terhadap manajemen risiko aktif.
 Memformulasikan strategi manajemen  risiko dalam pasar financial Islam akan menurut beberapa hal sebagai berikut :
 a.         Pembahasan komprehensif dan mendetail cakupan dan peran derivative di dalam kerangka Syariah.
b.         Perluasan peran intermediasi finansial dengan penekanan khusus pada pemfasilitasan pembagian risiko.
c.         Aplikabilitas Takaful (asuransi mutual sesuai Syariah) untuk menanggung risiko financial.
d.        Pengalokasian financial engineering untuk mengembangkan derivative sintesis dan instumrn diluar neraca.
 4.      Standarisasi
Tantangan operasional lain Bank Islam adalah menstandarisasi proses memperkenalkan produk baru di pasar. Pada saat ini, tiap Bank Islam memiliki Dewan Syariah sendiri-sendiri yang menguji dan mengevaluasi tiap produk, tanpa harus mengkoordinasikan upaya tersebut dengan Bank lain.
 Proses ini harus diorganisir dengan baik dan distandarisasikan guna meminimalkan waktu, upaya, dan kebingungan. Seharusnya ada audit pasca produk yang baik oleh komite audit untuk menjadikan institusi tersebut sesuai dengan panduan Syariah yang ditentukan oleh dewan. Beberapa Bank Islam telah memulai menggunakan komite audit seperti itu.
 5.      Konsolidasi
Dengan banyaknya institusi berukuran kecil, Bank Islam tidak menikmati efisiensi ekonomi skala. Banyak Bank Islam yang menggunakan fasilitas Bank Konvensional sebagai intermediasi manajemen keuangan, pertukaran mata uang, layanan portofolio dan perbankan investasi, yang mengurangi margin keuntungan mereka. Oleh karena itu, disarankan pada saat ini waktunya Bank Islam mempertimbangtkan secara serius untuk merger menjadi sebuah institusi financial yang besar, untuk dapat menikmati ekonomi skala dan mengurangi biaya overhead melalui efisiensi[9].
 D.      Solusi dalam menghadapi Tantangan di Kancah Ekonomi Global
 Harus memiliki strategi dan kebijakan pengembangn yang handal sebagai alat untuk menghadapi masalah-masalah yang telah dan yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan sebagai solusi dalam menghadapi tantangan Bank Syariah.
1.        Memperbaiki Ekonomi Islam
 Tentunya, desain Ekonomi Islam itu harus mengacu pada aplikasi beberapa hal, diantaranya :
 a.    Pondasi yang kuat. Pondasi ini harus dibangun melalui proses perubahan paradigma, dari seculer paradigm menjadi tawhidic paradigm (paradigma tauhid). Dengan pondasi ini, maka sistem Ekonomi Islam mempunyai kepastian langkah dan tujuan pokok, semua dari Allah dan semua dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktifitas dan semua akan berakhir dan kembali kepada-Nya.
 b.    Sistem Ekonomi Islam harus mempunyai minimal tiga pilar yang kokoh, yaitu lembaga fiscal dan regulator pasar, kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip kesetaraan dalam berbagi hasil dan jauh dari unsur riba, maysir dan ghoror dan yang terakhir, pilar itu adalah pemahaman masyarakat akan pentingnya menjalankan roda perekonomian secara adil dan transparan.
 c.    Adanya goals (tujuan), ultimate dan intermediate, yang secara garis besar merupakan penciptaan suatu tatanan perekonomian yang berorientasi meraih kesuksesan secara materi (di dunia) dan kejayaan secara spiritual (di akhirat). Secara kuantitatif, ukuran keberhasilan atau tujuan yang hendak dicapai bisa dipresentasikan dalam langkah nyata pada tingkat kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan standar lain yang lazim digunakan. Minimal ukuran keberhasilan ekonomi syariah ini secara aplikatif bisa diukur dengan kemampuan menghadapi krisis panjang, mengentaskan kemiskinan sehingga para mustahiq zakat tidak ada lagi, dan tingkat pendidikan dengan kecintaan masyarakat luas kepada ilmu pengetahuan yang tinggi[10].
 2.      Kepercayaan, Institusi dan Perkembangan Ekonomi
 Kepercayaan merupkan faktor penting dalam menjelaskan kinerja ekonomi, karena kepercayaan dianggap sebagai elemen social capital terpenting dalam Islam dan pondasi hubungan individual dengan Sang Maha Pencipta serta orang lain dalam masyarakat. Penyebab kinerja yang buruk dari beberapa Negara adalah rendahnya tingkat kepercayaan, dikombinasikan dengan melemahnya institusi legal dalam melindungi hak kepemilikan dan investor.
 Pemerintah mulai mengemplementasikan kebijakan untuk menguatkan struktur institusional masyarakat. Salah satu kebijakan dalam hal ini adalah menguatkan :
 a.         Transparansi, yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.
 b.         Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban Bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif.
 c.         Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Bank yang sehat.
 d.        Independensi, yaitu pengelolaan secara professional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.

e.         Kewajaran, yaitu keadilan dan kesejahteraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku[11].
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan

Gelombang globalisasi pada saat ini sudah tiba dan akan mengubah lanskap keuangan. Seiring dengan munculnya lanskap financial baru, kontrak pembagian risiko dan yang pada akhirnya menjadi kontrak pembagian untung rugi akan menjadi terstandarisasi dan akan menjadikan peluang bagi sistem financial baru untuk berkembang.
 Pluang emas dalam membangun masa depan Ekonomi Syariah di Indonesia, diantaranya :
 1.      Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.      Lahirnya Undang-Undang Sukuk Negara dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).
3.      Pencapaian lebih 2 persen market share.
4.      Peningkatan jumlah Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
 Tantangan Bagi Perbankan Islam, adapun tantangan yang dihadapi oleh Perbankan Islam adalah :
1.      Implementasi pada Sistem
2.      Intermediasi Dua arah
3.      Manajemen Risiko
4.    Standarisasi
5.  Konsolidasi
Solusi dalam menghadapi tantangan di kancah ekonomi global. Adapun solusi yang dapat dilakukan adalah :
 1.      Memperbaiki Ekonomi Islam.
a.    Pondasi yang kuat.
b.    Sistem Ekonomi Islam harus mempunyai minimal tiga pilar yang kokoh.
c.    Adanya goals (tujuan), ultimate dan intermediate.

2.      Kepercayaan, Institusi dan Perkembangan Ekonomi
a.    Transparansi.
b.    Akuntabilitas.
c.    Independensi.
d.   Kewajaran
 B.       Saran
 Demikianlah makalah ini, kami sebagai penulis sadar bahwa makalah yang disusun ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kelanjutan makalah yang akan datang.
 

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008.
Iqbal, Zamir., Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik, Prenada Kencana, Jakarta : 2008.
Machmud, Amir, Rukmana., Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, Erlangga, Jakarta : 2010.
Yaya, Rizal, dkk., Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta : 2009.

Lain-lain :

http://aamslametrusydiana.blogspot.com



[1] Adiwarman, A. Karim, Bank Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008, hlm 25.

[2] Yaya, Rizal, dkk., Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta : 2009, hlm 25.
[3] Ibid, hlm 25.
[4] Machmud, Amir, Rukmana., Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, Erlangga, Jakarta : 2010. Hlm 32.
[5] http://www.syafiiantonio.com., Minggu, 25 september 2011.
[6] Machmud, Amir, Rukmana., Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, Erlangga, Jakarta : 2010. Hlm      75.

[7] Iqbal, Zamir., Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik, Prenada Kencana, Jakarta : 2008.Hlm 372.
[8] Ibid. hlm 384.
[9] Ibid. Hlm 388-391
[11] Machmud, Amir, Rukmana., Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, Erlangga, Jakarta : 2010. Hlm 77.